Aliran-Aliran
Ilmu Kalam dan Permasalahannya
Di
susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Materi
PAI MTs/MA
Yang
di bimbing oleh
Ibu
Dosen Dra.Mamik Zumiati Rahayu, M.Ag.
Di
susun oleh:
Mu’in
Mamlu’atul
Ulumi
Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah “AL MUSLIHUUN” Tlogo Blitar
September
2011
I.
Pendahuluan
Pada dasarnya ilmu
kalam sebagai salah satu dari ilmu ke-Islaman sangatlah penting unyuk
dipelajari oleh seluruh umat islam, yang mana pembahasan dalam ilmu kalam ini
adalah pembahasan tentang aqidah dalam Islam yang merupakan inti dasar agama
yaitu aspek-aspek tentang ketuhanan. Ilmu Kalam juga hadir sebagai pengarah
pemikiran kita, agar terhindar dari dosa yang tidak terampuni (Syirik).
Memang,
Pembahasan pokok dalam Agama Islam adalah aqidah, namun dalam kenyataanya
masalah pertama yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi,
melainkan persolaan di bidang politik, hal ini di dasari dengan fakta
sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya persolan pertama ini di
tandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah
yang kesemuanya itu di awali dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan
kelompok-kelompok dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat
yang berbeda-beda.
II.
Pembahasan
B.1. Aliran-aliran dalam ilmu kalam
Problematika teologis
di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali
yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim
dalam menyelesaikan konfliknya dengan muawiyah bin abi Sofyan, gubernur syam,
pada waktu perang siffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan Kelompok
Khawarij.
A.
KHAWARIJ
Walaupun
pada mulanya merupakan golongan politik, dalam perekembangan selanjutnya,
Khawarij beralih menjadi aliran kalam. Berkenaan masalah kepala Negara (imam),
mereka beranggapan tidak harus dari golongan Quraisy, melainkan boleh bukan
Quraisy selama mempunyai sifat adil, jujur, dan menjauhi segala sesuatu yang
akan merusaknya. Apabila menyimpang dari ajaran-ajaran islam maka wajib dibunuh
dan dijatuhkan. Adapun masalah iman dan kufur, pendapat Khawarij setelah
mengalami perpecahan, memiliki pendapat yang beragam. Dalam makalah ini hanya
disebutkan sebagian pendapat dari beberapa sektenya saja, yakni Al-Muhakkimah,
Al-Azariqah, Al-Najdat, dan Al-Ajaridah.
1. Al-Muhakkimah.
Menurut sekte Al-Muhakkimah; Ali, Muawiyah, Amr bin
Ash, Abu Musa Al-Asy’ary dan semua orang yang terlibat dalam tahkim adalah
kafir. Dosa-dosa besar, seperti zina, dipandang pelakunya kafir pula. Demikian
pula orang yang melakukan pembunuhan tanpa alasan yang kuat, mereka dipandang
kafir.
2. Al-Azariqah.
Menurut aliran Al-Azariqah, yang termasuk kafir itu
adalah orang islam yang tidak sepaham dengan mereka, mereka akan kekal
selama-lamanya di neraka, walaupun masih anak-anak. Juga, selain
merekadikategorikan sebagai musyrik dan wajib dibunuh. Dalam pandangan mereka
iman diartikan pengauan dan perbuatan. Secara spesifik, yang menentukan dalam
keimanan adalah seseorang yang hijrah. Walaupun dari golongannya sendiri, orang
yang tidak bersedia hijrah dalam rangka perjuangan dianggapnya kafir musyrik
pula.
3. Al-Najdat.
Menurut Al-Najdat, bahwa pelaku dosa besar yang
menjadikannya kafir dan kekal didalam neraka, ini berlaku bagi umat islam yang
tidak sepaham dengannya. Seangkan bagi pengikutnya, jika melakukan dosa besar,
walaupun akan disiksa dineraka namun kemudian akan masuk ke surga. Adapun orang
islam yang tidak segolongan dengan mereka dianggapnya bukan orang mukmin.
4. Al-Ajaridah.
Aliran Al-Ajaridah bersifat lebih lunak dari pada
aliran Khawarij sebelumnya, karena mereka berpendapat bahwa hijrah itu tidak
wajib melainkan suatu kebajikan. Mereka juga berpendapat bahwa anak kecil tidak
berdosa, tidak musyrik; mereka mengikuti orang tuanya.
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:
- Orang Islam
yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
- Orang-orang
yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan
zubair, dengan Ali bin abi thalib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang
menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
- Khalifah
harus dipilih langsung oleh rakyat.
- Khalifah
tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak
menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
- Khalifah di
pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
- Khalifah
sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa
kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
- Khalifah
Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).
B. MURJIAH.
Aliran Murji’ah ini
muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir
mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal itu
dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena
hanya tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang
mukmin yang melukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang
mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada tuhan
sealin Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang
mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mangucapkan dua kalimat
syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut
masih tetap mukmin, bukan kafir.
Pandangan
mereka itu terlihat pada kata murji’ah yang barasal dari kata arja-a
yang berarti menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan.
Hal-hal yang melatarbelakangi kehadiran murji’ah
antara lain adalah :
- Adanya
perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij; mengkafirkan pihak-pihak
yang ingin merebut kekuasaan ali dan mengakfirkan orang- yang terlihat dan
menyetujui tahkim dalam perang siffin.
- Adanya
pendapat yang menyalahkan aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan
terjadinya perang jamal.
- Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan.
Ajaran-ajaran
Murji’ah
- Ajaran-ajaran
pokok murji’ah dapat disimpulan sebagai berikut: .
- Iman Hanya
membenarkan (pengakuan) di dalam Hati
- Orang islam
yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap
mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadt.
4.
Hukum terhadap
perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat.
C.
QADARIYAH
Qodariyah berasal dari kata qadara adalah
nama yang digunakan untuk sebuah aliran yang memberikan penekanan terhadap
kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatannya. Dalam paham
Qadariyah, manusia dipandang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendak
dan kemauannya sendiri. Mereka menolak adanya qadha dan qadar.
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M).
Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran
Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran
Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan kedunya yang menyatakan
bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak
campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu
terjadi karena qadha dan qadar Allah SWT.
Tokoh pertama yang menyatakan paham ini adalah
Ma’bad Al-Juhani yang diikuti Ghailan Al-Dimasq.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298,
pokok-pokok ajaran qadariyah adalah :- Orang yang
berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang
fasikk itu masuk neraka secara kekal.
- Allah SWT.
Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik
(surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa
Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula,
maka Allah berhak disebut adil.
- Kaum
Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa
Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat,
mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka
Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan
zatnya sendiri.
- Kaum
Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik
dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya
segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
Terlepas dari apakah paham Qadariyah ini di
pengaruhi paham luar atau tidak, yang jelas dalam Al-Quran sendiri banyak
dijumpai ayat-ayat yang menimbulkan paham Qadariyah seperti dalam surat Al-Ra’d
ayat 11, Al-Sajdah ayat 40, dan Al-Kahf ayat 29. Dengan demikian, paham
Qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam islam.
D.
JABARIYAH.
Jabariyah berasal dari kata jabara yang
berarti memaksa. Menurut Al-Syahrastani, Jabariyah berarti penolakan atas
perbuatan yang yang hakikatnya berasal dari manusia dan menyandarkan kepada
Tuhan. Paham ini memposisikan manusia tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri,
tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Menurut paham ini, manusia betul
melakukan perbuatannya tetapi dalam keadaan terpaksa.
Menurut catatan
sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam
datangke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir
sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan
yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian
mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka
semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak Tuhan.
Munculnya
mazhab ini berkaitan dengan munculnya Qadariyah. Daerah kelahirannya pun
berdekatan. Qadariyah muncul di irak, jabariyah di khurasan. Aliran ini pada
mulanya di pelopori oleh al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam perkembangannya.
Aliran ini di sebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan. Karena itu aliran ini
terkadang disebut juga dengan Jahmiah.
Terlepas
dari ada atau tidaknya kondisi alam yang demikian, Al-Quran sendiri banyak memuat
ayat-ayat yang dapat membawa timbulnya paham Jabariyah, seperti yang terdapat
dalam surat Al-Shaffat ayat 96, Al-An’am ayat 112, Al-Anfal ayat 17, dan
ayat-ayat lainnya. Dengan demikian, Jabariyah memiliki landasan yang kuat dalam
landasan islam.
Menurut
Al-Najjar dan Dirar bin ‘Amr yang dikenal sebagai tokoh Jabariyah moderat,
bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif
maupun negative. Tetapi, dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai andil.
E. MU’TAZILAH.
Perkataan Mu’tazilah
berasal dari kata Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya nama
ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin
Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam
perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah
dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Aliran
mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota
basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah
muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para
sahabat yang memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa
politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang
kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik
tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Untuk
mengetahui corak rasional kaum Mu’tazilah ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran
pokok yang ada pada dirinya, yakni Al-Ushul Al-Khomsah. Ajaran pokok ini
adalah Al-Tauhid, Al-Adl, Al-Wa’d dan Al-Wa’id, AlManzilah baina
Al-manzilataini,dan Amr Ma’ruf Nahyi Munkar.
F. AHLUSSUNAH
WAL-JAMAAH.
Ahlussunnah berarti
penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah berarti sahabat
nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad)
nabi dan para sahabat beliau.
Ahlussunnah sering juga disebut dengan Sunni
dapat di bedakan menjadi 2 pengertian, yaitu khusus dan umum, Sunni dalam
pengertian umum adalah lawan kelompok Syiah, Dalam pengertian ini, Mu’tazilah
sebagai mana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian
khusus adalah mazhab yang berada dalambarisan Asy’ariyah dan merupakan lawan
Mu’tazilah.
Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya
aliran Asy’ariyah dan maturidiyah, dua aliran yang menentang
ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini
adalah Abu al hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.
a. Abu al Hasan al
Asy’ari
Pokok-pokok
pemikirannya
1. Sifat-sifat
Tuhan. Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Alqur’an,
yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat
tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2. Al-Qur’an,
Manurutnya, al-Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
3. Melihat
Tuhan, menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat
nanti.
4. Perbuatan
Manusia. Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan
oleh manusia itu sendiri.
5. Antrophomorphisme
6. Keadlian
Tuhan, Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan
tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan
sebab tuhan maha kuasa atas segalanya.
7. Muslim
yang berbuat dosa. Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat
diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.
b. Abu manshur
Al-Maturidi
Pokok-pokok pemikirannya :
1. Sifat
Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
2. Perbuatan
Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu
sendiri, dan bukan merupakan perbuatan tuhan.
3. Al
Quran. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
4. Kewajiban
tuhan. Menurutnya, tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
5. Muslim
yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
6. Janji
tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan
janji tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.
7.
Antrophomorphisme.
G. SYI’AH
Secara bahasa Syi’ah
berarti pengikut. Yang dimaksud dengan pengikut disini ialah para pendukung Ali
bin Abi Thalib. Secara istilah Syi’ah sering di maksudkan pada kaum muslimin
yang dalam bidang spritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturuan Nabi
Muhammad SAW, atau yang sebut sebagai ahl al-bait.selanjutnya, istilah
yiah ini untuk pertama kalinya di tujukan pada para pengikut ali (syi’ah ali),
pemimpin pertama ahl- al bait pada masa Nabi Muhammad SAW.
Para pengikut ali yang
disebut syi’ah ini diantaranya adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad
dan Ammar bin Yasir.
Mengenai latar belakng
munculnya aliran ini, terdapat dua pendapat, pertama menurut Abu Zahrah, Syi’ah
mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affankemudian tumbuh dan
berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun menurut Watt,
Syi’ah bener-bener muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan
Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai
respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah,
pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap
Ali –kelak di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di
sebut Khawarij.
Kaum Syi’ah memiliki
lima prinsip utama yang wajib di percayai oleh penganutnya. Kelima prinsip itu
adalah :
1. al
Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu
ada, Maha esa, tunggal, tempat bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka
mempercayai adanya sifat-sifat Allah.
2. al
‘adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha
Adil. Allah tidak melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak
melakukan perbuatan buruk karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan
orang yang berbuat zalim.
3. al
Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga
tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah
mengutussejumlah nabi dan rasul ke muka bumi untnk membimbing umat manusia.
4. al
ilamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam
urusan agama dan dunia sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at,
melaksanakan Hudud, dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
5. al
ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum
Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat
itu pasti terjadi.
B.II Masalah-Masalah dalam Ilmu Kalam
A. AKAL DAN WAHYU
Persoalan kemampuan
akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok di atas, masing
masing bercabang dua. Pertama, masalah mengetahui Tuhan; melahirkan dua
masalah, yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan. Kedua, masalah
baik dan jahat; melahirkan dua masalah, yaitu mengetahui baik dan jahat dan
kewajiban mengetahui baik dan jahat.
Menurut Mu’tazilah,
sebagaimana dikemukakan para tokohnya, segala pengetahuan dapat diperoleh
dengan perantaraan akal, kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran
yang mendalam. Dan berterima kasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu adalah
wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang buruk wajib pula.
Menurut Mu’tazilah,
wahyu berfungsi sebagai konfirmasi dan informasi. Maksudnya, wahyu memperkuat
apa yang diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal.
Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh akal.
Menurut Asy’ariah,
sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari sendiri, segala kewajiban hanya dapat diketahui
melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk itu wajib bagi
manusia. Menurutnya, memang betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah
yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Denagn
wahyu pulalah, dapat diketahui bahwayang patuh kepada Tuhan akan memperoleh
pahala dan yang tidak patuh akan mendapat siksa. Dengan demikian, akal, menurut
Al-Asy’ari, dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak mampu untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban manusia dank arena itulah, diperlukan wahyu.
Dalam pandangan
Maturidiah, sebagaimana yang dikemukakan Al-Maturidi, akal manusia mampu
mengetahui adanya Tuhan dan mampu mengetahui kewajiban berteima kasih
kepada-Nya. Mengetahui (percaya) kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya,
sebelum adanya wahyu, wajib pula seperti yang dikatakan Mu’tazilah.
Tokoh Maturidiah
lainnya, sekaligus pendiri cabang Bukhara, Al-Bazdawi, berpendapat sama dengan
Al-Maturidi tentang kemampuan akal megetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik
dan buruk. Namun, menurutnya,sebelum datangnya wahyu, tidak ada kewajiban untuk
mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya; juga tidak ada kewajiban untuk
mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk. Kewajiban-kewajiban itu hanya
ditentukan oleh Tuhan, dan ketentuan-ketentuan itu tidak dapat diketahui
kecuali melalui wahyu.
B. KONSEP IMAN
Menurut Asy’ariah,
bahwa akal manusia tidak bisa sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan, kecuali
melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia dahwa ia
berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerima kebenaran itu. Oleh karena
itu, dalam pandangan Asy’ariah, iman berarti tashdiq (membenarkan).
Jadi, iman adalah membenarkan tentang adanya Allah dan kebenaran para rasul dam
bentuk pengakuan dalam hati. Adapun, mengucapkannya dalam lisan dan mengerjakan
rukun-rukun islam merupakan cabang dari iman.
Menurut Mu’tazilah,
bahwa akal manusia bisa sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Iman tidak bisa
mempunyai arti tashdiq (iman dalam arti pasif). Menurut mereka, iman
mesti mempunyai arti aktif, sebab manusia, melalui akalnya, mesti dapat sampai
kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Jadi, iman dalam arti mengetahui itu belum
cukup.
Menurut
Maturidiah Bukhara, dalam masalah iman, sama dengan Asy’ariah. Iman itu harus
merupakan tashdiq, bukan ma’rifah (amal). Sebagaimana dikemukakan
Al-Bazdawi, iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dalam lisan
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Kepatuhan kepada perintah-perintah Tuhan merupakan akibat dari iman.
Menurut
Maturidiah Bukhara Samarkand, mesti lebih dari tashdiq, karena akal,
sebagaimana Mu’tazilah, dapat sampai pada mengetahui Tuhan. Al-Maturidi sendiri
berpendapat, iman itu mengetahui Tuhan dalam ketuhanan-Nya, ma’rifah
adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya, dan tauhid adalah mengenal
Tuhan dalam keesaan-Nya. Jadi, menurutnya, iman tidak hanya tashdiq, tetapi
ma’rifah (amal).
C. KEBEBASAN DAN KETERIKATAN MANUSIA
Menurut Mu’tazilah,
manusia di pandang mempunyai daya yang besar dan bebas. Menurut Al-Jubba’I,
manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat
baik atau buruk, patuh dan tidak patuh
kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (istitha’ah)
untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya
perbuatan.
Menurut Maturidiah
Samarkand, dalam hal ini ada dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan
manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya pada diri manusia,
dan perbuatan daya itu sendiri adalah perbuatan manusia. Namun, daya itu
diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Perbuatan manusia menurutnya adalah
perbuatan manusia yang sebenar-benarnya, sehingga apa yang disebut pemberian
pahala dan siksa didasarkan atas daya yang diciptakan. Berbeda dengan Mu’tazilah
yang beranggapan bahwadaya diciptaka lebih dulu dari pada perbuatan.
Menurut Asy’ariah, manusia
justru dipandang lemah. Karena kelemahannya, manusia banyak bergantung pada
kehendah dan kekuasaan Tuhan. Dalam perbuatannya, manusia mempunyai keterbatasan.
Dalam hal ini mereka mengemukakan teori kasb (perolehan).
Iktisab, menurut
Asy’ariah, adalah terjadinya sesuatu dengan perantara daya yang diciptakan.
Dengan demikian, menjadi kasb bagi orang yang menggunakan daya itu dan
terciptalah perbuatan. Jadi, kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-muktasib
(yang memperoleh) dengan perantara daya yang diciptakan. Dengan teori kasb
ini, Asy’ariah ingin memperlihatkan
bahwa manusia mempunyai aktivitas dalam hubungannya dengan terciptanya
perbuatan.
Adapun Maturidiah
Bukhara, mereka pendapatnya sama seperti pendapat Asy’ariah.
D. KEADILAN TUHAN
Menurut Asy’ariah,
mereka memberikan interpretasi keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempat
yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki
serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian,
keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak-Nya
terhadap makhluk-Nya. Sebaliknya, ketidakadilan berarti menggunakan sesuatu
tidak pada tempatnya. Selanjutnya Asy’ariah mengemukakan bahwa Tuhan tidak
salah jika memasukkan seluruh manusia ke neraka. Berbuat salah dan tidak adil
adalah perbuatan melanggar hokum; karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang,
maka apa saja yang diperbuat tetap bersifat adil.
Menurut Maturidiah
Bukhara, sama halnya yang dikemukakan oleh Asy’ariah. Manusia berbuat baik dan
berbuat buruk, atas kehendak Tuhan, tetapi perbuatan buruk manusia tidak
diridhai Tuhan karena menentan ridha-Nya. Tegasnya, tidak da[at dikatakan Tuhan
bersifat tidak adil jika Ia memberikan
siksa kepada orang yang berbuat buruk.
Menurut Mu’tazilah dan
Maturidiah Samarkand, bahwa Tuhan dengan perbuatan-Nya, mesti memegangi prinsip
keadilan dan anugerah. Adil adalah mengambil yang baik dan anugerah adalah
memberikan sesuatu yang lebih baik. Jika yang terbaik mengandung arti yang lebih
berguna, maka keadilan adalah perbuatan yang member kesempurnaan bagi oran
lain, yang ada gunanya. Adapun dalam masalah pengampunan terhadap manusia yang
melakukan dosa besar, Mu’tazilah mengatakan tidak terjadi sama sekali.
Sedangkan Samarkand, berpendapat boleh saja terjadi karena tidak ada seorangpun
yang dapat membatasi kekuasaan Tuhan dalam pengampunan tersebut.
E. PERBUATAN DAN SIFAT TUHAN
1. Perbuatan-Perbuatan Tuhan
a. Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
Menurut
Mu’tazilah, Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban terhadap manusia, diantaranya Ia wajib berbuat adil
terhadap makhluknya. Tuhan wajib memberi pahala kepada orang tang berbuat taat
dan meberi siksa kepada orang yang berbuat dosa selama tidak mau tobat. Tuhan
juga wajib menepati janji, member rizki kepada makhluk-Nya. Tuhan juga wajib
tidak member beban makhluk-Nya di luar batas kemampuannya. Tuhan juga wajib
member hak-hak kepada manusia apabila sudah melakukan kewajibannya, bahkan Ia
wajib mengirim para rasul untuk memberikan petunjuk bagi manusia. Jika kewajiban-kewajiban tersebut tidak
dipenuhi oleh Tuhan, berarti Ia zalim, aniaya, pemaksa, pendusta dan sebagainya,
padahal itu mustahil bagi-Nya.
Menurut Asy’ariah,
justru bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazliah. Menurutnya, Tuhan tidak
memiliki kewajiban apapun terhadap makhluk-Nya, karena Tuhan mempunyai
kewajiban dan kehendak mutlak.
Maturidiah Bukhara
berpendapat sama dengan Asy’ariah. Namun, bagi Maturidiah Samarkand, walaupun
mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak,
Tuhan juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang ditentukan oleh Tuhan
sendiri.
b. Berbuat baik dan terbaik (al-shalah wa al-aslah)
Di kalangan Mu’tazilah
di kenal konsep al-shalah wa al-aslah. Maksudnya, Tuhan itu wajib
berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Menurut mereka, demi keadilan, Tuhan
wajib berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Keadilan erat kaitannya dengan
hak, sebab adil itu tidak berarti memberikan sesuatu kepada orang yang
mempunyai hak. Keadilan juga berart berbuat yang semestinya, yaitu member
pahala orang yang berbuat baik dan memberi siksa kepada orang yang berbuat
buruk.
Namun paham ini tidak
bisa diterima oleh Asy’ariah, karena paham ini bertentangan dengan paham
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.; sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali
bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Pendapat
sama juga dikemukakan oleh Maturidiah, baik dari Samarkand maupun dari Bukhara.
c. Beban di luar kemampuan manusia
Bagi Mu’tazilah, Tuhan
tidak mungkin memberi beban di luar kemampuan manusia, karena bertentangan
dengan keadilan Tuhan. Jadi, hal ini tidak dapat diterima oleh Mu’tazilah.
Menurut As’ariah, yang
berpaham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, Asy’ari dalam kitab al-luma’,
mengatakan bahwa Tuhan dapat memberikan beban yang tidak dapat dipikul mereka.
Semuanya terserah kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
d. Pengiriman para rasul
Dalam pandangan
Mu’tazilah, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi atau memperkuat apa-apa yang
telah diketahui manusia melalui akalnya. Tanpa rasul, manusia dapat mengetahui
Tuhan dan kewajiban-kewajiban terhadap-Nya, termasuk mengetahui hokum-hukum dan
sifat-sifat-Nya. Pendapat ini juga di pegang oleh Maturidiah Samarkand.
Menurut Asy’ariah
pengiriman para rasul sangat penting bagi manusia karena mereka memerlukannya
untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib, bahkan yang berhubugan dengan kebutuhan
manusia di dunia. Menurut mereke, segala kewajiban hanya diketahui melalui
wahyu. Betul akal dapat mengatahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajika manusia
mengetahui Tuhan. Akal dapat mengetahui hal baik dan buruk tapi hanya dengan
wahyulah diketahui bahwa mengerjakan yang baik mendapat pahala dan mengerjakan
yang buruk mendapat siksa. Pendapat Asy’ariah ini juga dipegang oleh Maturidah
Bukhara.
e. Janji dan ancaman
Menurut Mu’tazilah,
janji dan ancaman ini sangat erat kaitannya dengan keadilan Tuhan. Tuhan
dianggap tidak adil jika tidak menepati janji-janji-Nya. Selain itu bila Tuhan
tidak melaksanakan ancaman-Nya berarti Ia pendusta dan hal ini mustahil
bagi-Nya. Paham Mu’tazilah ini di terima juga oleh Maturidiah Samarkand.
Menurut Asy’ariah, yang
berpaham kekuasaandan kehendak mutlak Tuhan, menyatakan bahwa sama sekali tidak
ada kewajiban-kewajiban bagi-Nya. Tuhan berhak melaksanakan janji dan
ancaman-Nya dan juga berhak untuk tidak melaksanakan janji dan ancaman-Nya.
Menurut Maturidiah
Bukhara, bahwa Tuhan tidak mungkin melanggar janjinya untuk memberikan pahala
kepada orang yang berbuat baik; sebaliknya, mungkin saja Tuhan membaalkan
ancaman-Nya untuk memberikan siksa kepada orang yang berbuat buruk. Jika Dia
berkehendak unuk memberikan siksa kepada pelaku dosa besar, maka Dia berkuasa
untuk memasukkannya ke neraka sementara, atau untuk selamanya. Bukan hal yang
tidak mungkin Tuhan member amun kepada seseorang, tetapi tidak memberi ampun
kepada orang lain, walaupun dosa mereka sama.
2. Sifat-Sifat Tuhan
a.
Sifat-sifat
Tuhan pada umumnya
Menurut Mu’tazilah,
bahwa Tuhan tidak mungkin memilki sifat yang berdiri sendiri, jika demikian
berarti ada dua yang Qadim, yaitu sifat dan dzat-Nya. Orang yang mengakui hal
ini berarti musyrik, karena mereka mengakui adanya yang kekal lebih dari satu.
Misalnya Tuhan Maha Mengetahui, tetapi mengetahui itu bukanlah sufat, tetapi
dzat Tuhan. Jadi, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya
itu dzat-Nya sendiri.
Asy’ariah menolak
pendapat di atas. Mereka berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil
Tuhan mengetahui dengan dzat-Nya, karena, dengan demikian, dzat-Nya itu
pengetahuan dan Tuhan sendiri pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan tetapi yang
mengetahui. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya itu bukan
dzat-Nya, tetapi sifatnya. Demikian juga dengan sifat-sifat lainnya seperti
hidup, berkuasa, mendengar, dan sebagainya. Jadi, sifat-sifat Tuhan itu bukan
dzat-Nya tetapi ada dalam dzat-Nya. Pendapat ini juga dipegang oleh Maturidiah
Buhara dan Samarkand.
b.
Anthropomorphism/al-tajassum/al-tasybih
Bagi Mu’tazilah,
sifat-sifat manusia tidak dapat dipergunakan untuk Tuhan. Tuhan tidak mempunya
Tubuh yang bersifat materi. Oleh karena itu jika dalam Al-Qur’an terdapat
ayat-ayat Al-Qr’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat jasmaniah, seperti al-yad
(tangan), al-wajh (muka) dan lain-lain itu harus diberi interpretasi
lain. Misal, al-yad diinterpretasi sebagai kekuasaan, al-wajh
diberi interpretasi dengan dzat.
Munurut Asy’ariah,
paham Tajassum dapat diterima dengan interpretasi sebagai berikut: Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmaniah yang sama dengan sifat-sifat jasmaniah manusia.
Seperti disebutkan dalam alqur’an, Than mempunyai mata, tangan, muka dan
sebagainya; tetapi tangan, mata, muka Tuhan itu tidak sama dengan tangan, mata,
dan muka manusia.
Al-Jubba’I mengatakan
bahwa Tuhan megetahui bukan karena sifat mengetahui, tetapi karena pengetahuan,
dan pengetahuan itu Tuhan sendiri. Ini juga pengdapat yang dipegang Maturidiah
Samarkand.
Maturidiah Bukhara
tidak sependapat dengan pandagan As’ariah di ata. Menurut mereka, jika dalam al
Qur’an disebutkan tentan tangan Tuhan, maka yang dimaksud adalah sifat, bukan
anggota badan Tuhan, yaitu sifat yang sama dengan sifat-sifat yang lain,
seperti pengetahuan dan pengetahuan.
c.
Melihat Tuhan
Menurut Mu’tazilah,
Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, karena Tuhan bersia immateri dan tidak
mengambil tempat. Adapun dali yangbawa Mu’tazilah di antaranya QS: al-An’am
ayat 103 “Dia tidak dapat di cai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan, karena Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui”.
Dan juga hadits nabi
yaitu, “ Dari Abi Dzar; dia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi: ‘Apakah
baginda dapat melihat Tuhan?’ Nabi menjawab: ‘Bukankan Tuhan itu cahaya?
Bagaimana aku melihat-Nya?’” .
Bagi Asy’ariah, Tuhan
dapat dilihat di Akhirat dengan mata kepala. Alasannya, Tuhan mempunyai
sifat-sifat tajassum, walupun sifat-sifat manusia itu tidak sama seperti
sifat-sifat manusia yang ada di alam materi ini. Walaiupun Tuhan bersifat
immateri, dengan kekuasaan-Nya, tidak mustahl manusia dapat melihat-Nya di
akhirat nanti. Mereka juga berargumentasi bahwa yang tidak dapat dilihat itu
hanyalah yang tidak mempunyai wujud. Yang mempunya wujud pasti dapat dilihat.
Menurut mereka, Tuhan melihat apa yang ada dan demkian melihat diri-Nya juga.
Kalau Tuhan dapat melihat diri-Nya, maka Diapun dapat membuat manusia melihat
Tuhan-Nya.
Pendapat Asy’ariah ini
juga dipegang leh al-maturidiah, baik Samarkand maupun Bukhara.
III.
Penutup
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam
telah hadir sebagai pelopor lahirnya pemikiran-pemikiran yang hingga
sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga
dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah,
bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber
pada al—Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat
luas.
Sekarang, bagaimana kita menaggapi
pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik pertentangan dan
persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki
argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Namun
pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidaklah
bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah
yang akan diberikanNya di akhirat nanti.
IV.
Daftar
Pustaka
Drs. Supriana, M.Ag, MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
http://mufdil.wordpress.com/2009/08/03/aliaran-aliran-dalam-ilmu-kalam/
No comments:
Post a Comment