Gebrakan
Baru Para Pemikir Islam
Adalah barang tentu menjadi pertanyaan kembali,
mengingat pemikiran kontemporer Islam yang bersifat islami itu dihubungkan
dengan modern yang identik dengan Barat. Pemikiran merupakan wacana yang berkembang
secara dialektik, yakni dalam periodisasi waktu, atau pada tempat atau kawasan
tertentu. Setidaknya kita menyegarkan kembali akan pemahaman yang dimaksud
dengan modern, dan juga yang dimaksud dengan islami. Pembahasan ini meliputi
dua arus besar pemikiran yang selalu dihadapkan sebagai dua buah ideologi
besar, yakni Islam dan Barat.
Dalam wacana pemikiran modern, antara Islam dan
Barat, titik utama kajiannya terletak pada tataran epistemologis, yakni sumber
pengetahuan. Corak pemikiran Islam, sesuai dengan sumber pengetahuannya selalu
mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi ciri kahasnya. Keduanya sebagai
epistemologi merupakan pembeda dengan corak pemikiran lainnya. Bergitu pun
berbagai kajian yang notabene melingkupi berbagai keilmuan Islam. Maka,
berbagai kerangka pemikiran yang mengabsenkan Al Qur’an dan Sunnah -yang
menjadi khasnya- barang tentu tidak dikatakan sebagai pemikiran Islam. Adapun
pada tataran aksiologis, pemikiran Islam ataupun Barat akan membias dan hilang
corak khasnya karena disesuaikan dengan world view yang ada.
Renessains yang terjadi di Eropa pada
abad-16, merupakan dasar tombak bagi Barat dalam kemajuannya, terutama dalam
lini pemikiran. Kebebasan akal yang menjadi prioritas diusung oleh beberapa
tokoh seperti Rene Descartes, August Comte, Imanuel Kant, dan Fancis Bacon,
mampu menjelma seketika –pemikirannya- sebagai sebuah hegemoni pemikiran yang
sangat terasa gaungnya. Renessains menjadikan Eropa bergerak pesat
meninggalkan peradaban yang lainnya, khususnya Islam. Inilah dimana Barat
memulai kemodernan yang menjadi pengaruh di seluruh dunia, sehingga tak pelak
bahwa modern kerap identik dengan Barat. Basis epistemologis yang dipakai dalam
pemikiran Barat, setelah dipaparkan di atas, menjadi jelas akan kebebasan akal yang
dipakai sebagai pijakan sumber pengetahuan.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, dengan tidak
menafikan fakta sejarah, akan banyaknya pemikir Islam yang menggunakan
metodologi Barat sebagai kacamata dalam melihat Islam. begitupun para pemikir
Barat yang menggunakan kacamata Islam dalam melihat Barat. Seperti yang
dilakukan oleh beberapa pemikir Islam yang pernah mengenyam pendidikan di
Barat, seperti Seyyed Hosein Nasr, Ali Syariati, Imam Khomeini, dsb, membuat
kita bertanya kembali sebagai umat Islam, apakah modernitas merupakan sesuatu
yang ‘haram’ karena ke-Baratannya, dan apakah modern hanya melulu dikalaim
sebagai milik Barat?
Kembali pada pengartian modern dan islami yang
dikaitkan pada pemikiran kontemporer Islam. Modern secara bahasa berarti kekinian.
Terminologi modern juga dikaitkan dengan istilah kontemporer. Keduanya
sama-sama memilik arti kekinian, ini akan menjadi pembahasan kita kemudian.
Namun pada wacana ini yang dimaksud adalah modern yang identik dengan Barat,
istilah yang timbul setelah rennesains di Eropa. Pengaruh pemikiran
Barat (modern) sangat besar dalam pemikiran Islam, sehingga kerap metodologi
menjadi perdebatan. Penggunaan istilah modern atau islami pada para pemikir
Islam keduanya mempunyai persinggungan yang kemudian harus disikapi.
Tidak bisa dielakkan bahwa pengaruh modernisasi
yang terjadi pada tubuh Islam merupakan pengaruh Barat. Hal tersebut dapat
dilihat pada pembaharu-pembaharu Islam awal seperti misalnya Khairuddin dan
Thahtahawi yang bersinggungan langsung dengan dunia Eropa. Seperti dikatakan
Albert Hourani, mereka lebih melihat ide-ide pencerahan tersebut sebagai
penemuan baru yang bisa diadopsi ke dalam Islam. Sebelumnya, pemikiran Islam
pramodern telah melewati masa dimana corak pemikiran sekuler berkembang. Secara
umum keadaan tersebut diakibatkan karena pemikiran Islam yang sempat stagnan.
khususnya permasalahan-permasalahan baru yang tidak mampu lagi di selesaikan
oleh syari’ah menjadi batu sandungan yang cukup signifikan. Syari’ah
tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah.
Pemikiran islam pada awal kali berkembang merupakan pemikiran yang ortodoks.
Pemikiran ini mengacu pada era khalifah hingga dinasti-dinasti Islam yang
melakukan perluasan daerah Islam di kawasan Arab. Terakhir perjalanan Islam
ortodoks yakni kejayaan imperium Usmani berdiri. Atas dasar itulah mengapa
kemudian Islam memasuki masa modern, yakni pengadopsian kemodernan yang dibawa
oleh Barat.
Ada pun islami, merupakan sikap yang didasari
pada ajaran islam. Disikapi dan diaktualisasikan sesuai ajaran Islam. Semisal
pada bentuk gaya hidup yang dilakukan berdasarkan ajaran Islam, maka gaya hidup
tersebut akan disebut islami. Begitu pula dalam berpakaian, cara berpakaian
tersebut kemudian akan dikatakan islami. Berkenaan dengan pemikiran, maka
pemikiran tersebut tidak terlepas seputar berbagai bidang kajian Islam.
Pemikiran kontemporer Islam bersifat islami dan bukan modern lebih dikarenakan
penafsiran ulang yang dilakukan pada berbagai bidang kajian Islam. Seperti
penafsiran ulang terhadap Al Qur’an, misalnya. Begitu juga Juga pengkonstrksian
ulang pemikiran Islam yang dilakukan. Semuanya menjadikan pemikiran kontemporer
Islam disebut islami, dan tidak modern.
Pembaharuan dalam Islam bukanlah sesuatu yang
menyebabkan kemudian, para pemikir Islam disebut modern, terlepas dari rennesains
yang terjadi di Eropa. Dalam Islam pembaharuan akan tetap selalu ada, mengingat
Islam itu selalu sesuai pada setiap zaman dan tempat (shahih fi kulli zaman
wa makan). Dengan menerima pembaharuan yang datang demi merespon tuntutan
zaman bukanlah sesuatu yang menyebabkan Islam kehilangan keotentikannya. Nahdhah
yang terjadi di Mesir sejatinya merupakan konstruksi atas pelbagai pemikiran
Islam yang dianggap sudah tidak relevan. Adapun metodologi Barat yang datang
dan diadopsi tetap menjadi barang baru dalam Islam –tidak dapat dinafikan-,
namun kekhasan Islam tetap tidak ditinggalkan. Maka metodologi barat yang
dianggap liberal waktu itu direkonstruksi kembali dengan tidak meninggalkan Al
Qur’an dan Sunnah.
***
Pemikiran kontemporer pra-60 dan pasca-60 juga
kembali menjadi pertanyaan apa yang menandakan zaman itu disebut dengan
kontemporer. Sebelum menjawab pertanyaan ini kiranya harus dijelaskan terlebih
dahulu modern dan kontemporer berdasarkan terminologinya. Keduanya sama menurut
terminologi, namun tidak secara maknanya. Menurut Seyyed Hosein Nasr, ia
membedakan antara modern dengan kontemporer. Modern lebih bersifat pada arus
pemikiran yang tentunya tidak terkait dengan penandaan waktu, sedangkan kontemporer
jelas mengarah pada periodisasi zaman yang bersifat temporal.
Modern merupakan corak pemikiran yang tentu tidak
berdasarkan periodisasi waktu tertentu. Maka setiap corak pemikiran dapat
dikatakan sebagai modern. Ciri akan rasionalitas dan humanisme tidak diklaim
pada periodisasi waktu tertentu. Sejak zaman Yunani, mereka tentu akan mengaku
sebagai masyarakat yang telah rasional dalam berpikir. Hanya saja rasionalitas
yang mereka katakan berdasarkan pemahaman rasionalitas yang mereka pahami. Meskipun
pada masanya masih akrab pada pengetahuan yang bersifat mitos, bukan logos,
namun mereka telah menganggap pengetahuan telah cukup rasional pada zamannya.
Maka modern bukan suatu bentuk pemikiran yang dibatasi oleh waktu melainkan
suatu gerak pemikiran yang beyond time and space. Lain halnya ketika
modern dipahami sebagai pembaharuan dalam tubuh Islam yang terjadi saat
persentuhan Islam dengan Barat, sehingga merubah pemikiran Islam menjadi
ke-Barat-an. Maka modern -yang dimaksud tersebut- adalah corak pemikiran yang
lahir dari rennesains di Eropa .
Adapun kontemporer dibatasi pada periodisasi
waktu. Disebut sebagai kontemporer, sesuai kebahasaannya, berarti kekinian,
yakni zaman yang masih baru atau zaman yang belum lama berlalu. Istilah
kontemporer dipahami sebagai zaman peralihan dari zaman sebelumnya, yakni
klasik. Maka klasik dipahami sebagai masa yang telah lalu atau masa dimana
belum tersentuh oleh pembaharuan. Oleh sebab itu, masa yang disebut sebagai
kontemporer dimulai pasca-60. Dengan mengacu kembali pada sejarah pemikiran
Islam, dimana persinggungan awal kali Islam dengan Barat di Mesir yang kemudian
menjadi batas antara klasik dan kontemporer.
Dalam konteks pemikiran kontemporer, corak
pemikiran ini dimulai pasca-60. sedangkan pra-60 disebut kemudian sebagai
pemikiran klasik. Pemikiran klasik, dalam studi sejarah dapat dipetakan sebagai
perode yang masih sangat menutup diri dari adanya pengaruh luar yang bersifat
pembaharuan. Dalam Islam, masa klasik ditandai dengan masa yang identik menjaga
tradisi sunnah nabi dan menghindarkannya dari pemikiran-pemikiran baru yang
datang. Dengan perangkat qiyas mereka menyikapi setiap permasalahan baru
yang datang dikemudian hari.
Melalui sejarah, Pra-60 ditandai malalui gerakan nahdhah
(kebangkitan), yakni penentangan terhadap Barat. Gerakan ini sudah dimulai
sejak Eropa mendarat di Mesir dan menggulingkan kekuasaan imperium ‘Usmani
Dimulai dari politik Islamnya Tahtahawi, kemudian beralih menjadi Pan Islamenya
Jamaluddin Al Afgahani dan terus dikembangkan melalui jurnal Urwah Al
Wutsqa yang dilanjutkan oleh muridnya Afghani, yakni ‘Abduh dan Rasyid
Ridha. Semua itu dilakukan sebagai reaksi terhadap Barat yang dianggap membawa
pembaharuan, terutama pemikiran yang dianggap dapat merusak keotentikan Islam.
Meskipun penentangan yang mereka lakukan berbeda antara satu dengan yang lain,
seperti Tahthawi dengan politiknya, Afghani dengan orasi-orasinya, dan ‘Abduh
yang melalui jalur pendidikan, namun mengusung tujuan yang sama akan
penentangan terhadap Barat (Eropa). Sebenarnya penekanan masa pra-60 lebih
disoroti pada Maududi yang menyongsong dan menandai masa pra-60
Sedangkan corak pemikiran yang terjadi pasca-60
telah merubah haluannya. Tidak lagi seperti yang dilakukan oleh pemikir Islam
awal saat bersentuhan dengan Eropa. Corak pemikiran kontemporer lebih pada
pengkonstruksian dalam berbagai bidang keislaman. Pemikiran kontemporer yang
merupakan warisan kolonialisme pada dasarnya memang telah membawa perubahan
yang signifikan. Tidak hanya militerisasi yang diusung, melainkan juga
pencerahan. Pencerahan yang berdampak pada dunia muslim mengejawantah dalam
berbagai pemikiran para pemikir muslim kemudian.
Pasca-60 dimulai oleh Sayyid Qutub di Mesir. Ia
mengusung upaya kebangkitan, dan juga universalitas Islam. Ia juga mengkonstruksi
kembali corak pemikiran kalam Qodariyah yang sangat bersebrangan dengan
kepercaayaannya sebagai seorang Asy’ariyyah. Setelah itu muncul Imam khomeini
dengan Wilayah Al Faqihnya, dan pemikirannya yang
berkenaan denan konsep Imamah. Lalu dilanjutkan kemudian oleh Ali
Syari’ati yang bermain dalam ranah politik, yang mengusung Islam sebagai
ideologi negara. Filsafat Barat yang ia geluti, dan yang terakhir ia berusaha
mensintesakan pemikiran Sunni dan Syi’ah. Begitu pula Fazlur Rahman yang pemikirannya
masih hanat diperbincangkan. Ia banyak disebut oleh kaum cendekia sebagai
neomodernis. Ia berkonsentrasi pada Islam dan kesejarahan. Lalu permasalahan
yang berkenaan dengan Hermeneutika Al Qur’an dan juga pedagogi Islam.
Sederet tokoh kontemporer tersebut membuat
kesimpulan akan tradisi yang berbeda dibanding pada masa pra-60. Mereka secara
berkala intens dalam mengkonstruksi pemikiran Islam dalam berbagai isu yang
lebih relevan.
***
Sumber: Perkembangan islam masa modern
No comments:
Post a Comment