kolom iklan

Friday, 6 April 2012

Kebutuhan Dzikir Di Era sekarang ini


Pada zaman sekarang kumpulan dzikir lebih kita butuhkan, karena manusia telah dibisingkan oleh keduniaan saja, sehingga sedikit sekali untuk mengingat pada Allah dan Rasul-Nya dan kurang bersilator Rohmi! Sebelum kami mengutip dalil-dalil dan wejangan para pakar islam yang berkaitan dengan majlis dzikir, marilah kita baca ,berikut ini, Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada tahun 2001 dan 2002 yang diarsiteki oleh Saiful Mujani, direktur Freedom Institute, yang baru menyelesaikan doktoralnya di Universitas Ohio State, Amerika pada 10 Juni 2003. Kami kutip bagian yang penting saja, yang berkaitan dengan kumpulan majlis dzikir. 
Dengan adanya kutipan dalil-dalil dibab ini, insya Allah pembaca bisa menilai sendiri serta mengambil kesimpulan tentang manfaat kumpulan (halaqat) dzikir  Istighothah, Tahlil/Yasinan dan lain lain untuk masyarakat dan ruginya orang yang tidak mau kumpul berdzikir bersama masyarakat. 

"Temuan orang-orang seperti Alexis Tocqueville di Amerika yang termuat dalam bukunya yang terkenal, Democracy in America. Tocqueville mendeskripsikan tentang seorang yang religius (beragama) dan aktif dalam kegiatan keagamaan serta menjadi demokratis sekaligus mempuny`i sumbangan bagi perkembangan demokrasi. Nah, urgensi agama dalam hubungannya dengan demokrasi akan terlihat bila agama diterjemahkan dalam kelompok-kelompok sosial yang menjadi kekuatan kolektif, membentuk jaringan sosial, dan seterusnya. Misalnya, mereka yang rajin berpuasa sunnah sendiri atau sholat tahajud pada gelap malam sendirian, ibadah-ibadah ini, sekalipun penting dan pokok dalam agama, kalau ditarik lebih lanjut dalam kehidupan sosial-politik yang lebih luas, hal tersebut tidaklah terlalu bermakna (dalam hubungan antara manusia). Untuk bisa suksesnya konteks demokrasi, maka dimensi-dimensi ritual yang beraspek kolektivitas yang lebih diperlukan dalam konteks demokrasi. Misalnya, sholat berjama’ah. Dalam Islampun, pahala sholat berjama‘ah lebih banyak ketimbang munfarid (sholat sendirian).

Dalam tradisi (partai) NU, kita mengenal praktik yasinan, manakiban, tahlilan, tujuh harian bagi orang yang meninggal, haul, dan lain-lain. Praktik-praktik itu, dalam temuan dua penelitian saya secara nasional pada 2001 dan 2002, mempunyai efek ganda. Dengan begitu, dalam diri mereka ada semacam peran-peran dan status sosial yang lebih kompleks. Itulah yang menjadikan seorang yang religius tersebut menjadi positif untuk konteks demokrasi. Sebab, basis sosial semacam itulah yang sesungguhnya di butuhkan oleh demokrasi kalau kita melihatnya dari sisi masyarakat.

Dalam ritual yasinan, tahlilan, manakiban dan lain-lain, terdapat dimensi transedental, yakni niat ibadah pada Allah. Hanya, implikasi ritual tersebut juga banyak kita temukan. Dalam ritual yasinan, kita kan tidak hanya membaca yasin, tapi juga bersilaturahmi, bertemu orang lain, dan saling menyapa. Itulah yang dalam konteks demokrasi disebut sebagai civic engagement (keterlibatan masyarakat). Sekiranya, modal sosial dalam tradisi kita tersebut yang mendorong orang untuk hidup secara kolektif  dan terlibat secara sosial dimusnahkan karena dianggap bid’ah bahkan kasus-kasus tertentu diklaim musyrik, tindakan itu tidak akan mendukung kearah demokrasi.

Coba lihat, kehidupan keagamaan di Arab Saudi (zaman sekarang) begitu kering. Disitulah akar fundamentalisme dan konservatisme Islam yang sangat anti demokrasi berkembang. Apa penyebabnya? Mereka melihat kehidupan ini begitu simpel. Mereka tidak membawa ummat Islam dalam kehidupan yang sangat kaya dan heterogen secara sosial-budaya. Artinya, jika umat Islam makin terlibat dalam kehidupan sosial, dia makin terhindar dari benih-benih fundamentalisme. Karena itu, kita bisa menyaksi- kan orang-orang sufi termasuk yang cukup toleran. Hal itu disebabkan ada dimensi sosial yang mereka rasakan, lihat, dan alami sendiri. Dengan begitu, mereka tahu bahwa hidup bukan hanya hitam-putih atau untuk ibadah yang bersifat personal (perorangan) saja ". Demikianlah ungkapan dari Saiful Mujani.
                                                                  
Dalil-dalil dzikir termasuk  dalil dzikir secara jahar (agak keras)
Pada bab ziarah kubur disitus ini, kami telah menerangkan manfaat majlis dzikir (Tahlil dan bacaannya, Talqin dan lain-lain), marilah kita sekarang meneliti dalil-dalil mengenai berkumpulnya orang-orang untuk berdzikir pada Allah swt..
Termasuk juga dalam kategori dzikir ialah pembacaan Tahlil, Talqin, Istighothah, peringatan-peringatan keagamaan (maulud, isra’ mi’raj Nabi saw) dan sebagainya. Dengan adanya dalil-dalil berikut ini,  para pembaca bisa menilai sendiri apakah kumpulan/majlis dzikir ,yang contohnya telah dikemukakan diatas, dilarang oleh syariat islam , sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh para pengingkar majlis/kumpulan dzikir.

Apa makna/arti Dzikir yang selalu disebut-sebut dalam ayat al Qur’an dan hadits? Menurut pendapat para ulama yang dimaksud Dzikir ialah: ‘mengingat pada Allah swt.'. Makna ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk mengingat pada Allah swt. dan Rasul-Nya, misalnya; sholat, bertasbih, bertahlil, bertakbir, majlis ilmu, memuji Allah dan Rasul-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran-Nya, sifat-sifat keindahan-Nya, sifat-sifat kesempurnaan yang telah dimiliki-Nya, membaca riwayat para utusan Allah dan sebagainya. Tidak lain semuanya ini untuk lebih mendekatkan diri kita pada Allah swt sehingga kita mencintai dan dicintai Allah swt. dan Rasul-Nya.
Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath Al-Bari X1:209 mengatakan:
“Yang dimaksud dengan dzikir adalah mengucapkan kata-kata yang diperintahkan untuk diperbanyak pengucapannya. Hal ini seperti Al-baqiyat ash-shalihat (amal sholeh yang kekal manfaatnya) berupa dzikir;. Suhhanallah wal-hamdulillah, wa la ilaha illallah wallahu Akbar (Maha suci Allah, segala puji hanya milik Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah itu Mahabesar). Juga seperti dzikir-dzikir yang lainnya, yaitu membaca hauqalah  (la haula wa la quwwata illa billah, [tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah] ), basmalah (bismillah ar-Rahman ar-Rohim [dengan nama Allah yang Pengasih dan Penyayang] ), istighfar (astaghfirullah, [aku mohon ampunan dosa dari Allah] ), hasbalah (hasbunallah wa ni’ma al-wakil, ni’ma al-maula wa ni’ma an-nashir [cukuplah bagi kami Allah, dan Dia sebaik-baik pelindung, sebaik-baik majikan dan sebaik-baik penolong] ). Demikian pula do’a (permohonan) untuk kemaslahatan/ kebaikan dunia dan akhirat.

Secara mutlak ,menurut Ibn Hajar selanjutnya, dzikir juga berarti mengamalkan secara terus menerus apa yang diwajibkan atau dianjurkan oleh Allah swt., seperti membaca Alqur’an, membaca hadits, belajar atau menuntut ilmu, juga melakukan sholat sunnah. Dzikir juga kadang-kadang berupa pelafalan/pengucapan dengan lidah dan orang yang mengucapkannya berpahala. Dalam dzikir semacam ini tidak disyaratkan untuk menghadirkan hati –atau mengkhusyu’kannya– hanya tidak boleh mempunyai tujuan selain yang sesuai dengan yang dibaca. Tetapi, jika dzikir semacam ini diikuti dengan penghayatan oleh hati, maka itu lebih sempurna. Dan jika dzikir tersebut disertai pemaknaan dan penghayatan seperti mengakui keagungan Allah dan membersihkan atau mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, maka dzikir tersebut semakin sempurna.
Jika –pemaknaan dan penghayatan mendalam seperti itu– terjadi pada setiap amal sholeh (perbuatan yang bagus) –baik yang diwajibkan, berupa sholat, jihad maupun selain keduanya– maka hal itu akan lebih menambah kesempurnaan ibadah yang dilakukan. Apalagi jika tawajjuh (menghadapkan jiwa raga kepada Allah) dapat dilurus kan (dibenarkan) disertai keikhlasan yang sungguh-sungguh, maka kesempurnaannya semakin bertambah. Ibnu Hajar selanjutnya mengatakan bahwa Al-Fakhr Ar-Razi berkata: ‘Yang dimaksud dzikir dengan lisan itu ialah (pengucapan) kata-kata yang mengandung tasbih [menyucikan Allah], tahmid [memuji Allah] dan tamjid (memuliakan dan mengagungkan Allah swt.]. Sedang yang dimaksud dengan dzikir qalb (dalam hati) ialah berpikir mengenai dalil-dalil atau bukti-bukti mengenai Dzat Allah, sifat-sifatNya dan yang berkaitan dengan taklif [kewajiban yang dibebankan oleh syariat] berupa perintah dan larangan. Dengan begitu, orang yang berdzikir akan mengetahui hukum-hukum serta rahasia-rahasia Allah yang ada pada (semua) makhluk-Nya.

Sedangkan dzikir dengan anggota tubuh (lainnya) ialah bahwa anggota tubuh semuanya dipergunakan –secara optimal atau penuh– dalam taat kepada Allah swt.. Meskipun demikian, Allah swt. menyebut sholat itu sebagai dzikir. Seperti difirmankan-Nya:..maka pergilah (untuk menuju) ke dzikrullah (sholat jumat). Diriwayatkan dari sebagian al-‘arifin –ahli tauhid– bahwa dzikir itu dilakukan lewat tujuh segi; yaitu dzikir mata dengan menangis; dzikir telinga dengan mendengarkan (ajaran Allah); dzikir lidah dengan menyanjung atau memuji Allah swt; dzikir kedua tangan  dengan memberi infak,sedekah, zakat, hadiah dan lain-lainnya; dzikir badan dengan al-wafa (memenuhi tuntutan dan janji); dzikir hati dapat dilakukan dengan adanya khauf  (rasa takut akan murka Allah), dan raja’ (penuh pengharapan terhadap rahmat dan karunia Allah swt) serta dzikir ar-ruh dengan berserah diri kepada ketentuan Allah serta ridho/rela atas apa yang ditentukannya”.
Demikianlah menurut Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. 

No comments:

Post a Comment