Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertian nya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu, tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan (yang berlawanan dengan sunnah Rasulallah saw), dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits berikut ini, yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jarir ra bahwa Rasulallah saw bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61... Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan lainnya). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Nabi saw mengetahui bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman ─modernisasi, merajalela kemaksiatan, bermacam-macam adat istiadat dan lain sebagainya─ maka dibolehkannya hal-hal yang baru, yang diadakan ─selama berada dalam kebaikan dan tidak keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh syariát Islam─, demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman.
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits terakhir diatas ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas sekali tidak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, ini terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah yang diamalkan oleh para Sahabat dan Tabi’in (baca uraian selanjutnya). Begitu juga kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan keumuman lafadh, bukan ber- dasarkan kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw, berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah dholalah.
- Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah. Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau saw. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh firman Allah swt dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ . Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersih- kan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
- Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
- Demikian juga dikatakan oleh imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak di lakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan diamalkan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang diamalkan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw, itulah yang kita namakan Bid’ah dholalah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak di-ikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk! Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ ,baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintahkan secara khusus oleh Rasulallah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulallah saw sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya, yang tidak pernah diperintahkan oleh beliau saw sebelumnya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca uraian selanjutnya).
Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. Mereka juga berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw yang lalu. Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru diadakan disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat...” (Kullu bid’atin dholalah), serta tidak ada istilah bid'ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid'ah, mereka hukumkan haram untuk diamalkan, karena bid'ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan secara mutlak. Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (ikutilah uraian selanjut nya), yang membuktikan sikap Rasulallah saw yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’), yang diamalkan para sahabatnya, yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang diamalkan ,setelah wafatnya Rasulallah saw, oleh isteri Nabi saw ,'Aisyah ra, Khalifah 'Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid'ah. Tidak ada satupun dari para sahabat yang mencela atau mengatakan kepada mereka ini, bahwa sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid'ah selain haram. Untuk mencegah timbulnya kesalah-pahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya:
Menurut imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
Artinya: ‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْر مَذْمُوْمَةٌ
Artinya: 'Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’, inilah bid’ah dholalah/sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan: “ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “. Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah berkata:
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017--red), dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang sesat (dholalah)”. (Tafsir Imam Qurtubi juz 2 hal. 87)
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan para pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti; Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam Ibnul-‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw: ‘semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105).
Dan berkata pula Imam Nawawi:
Dan berkata pula Imam Nawawi:
“Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggal kan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini, yang tidak kami kutip disini.
Ada golongan lagi yang tidak mengakui adanya bid'ah hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bid'ah menjadi beberapa macam. Ada bid'ah mukaffarah (bid'ah kufur), bid'ah muharramah (bid'ah haram) dan bid'ah makruh (bid'ah yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bid'ah mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syari'at, atau seolah-olah bid'ah diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
No comments:
Post a Comment