BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Berhasilnya
gerakan reformasi tahun 1998, dengan cepat mengubah tatanan kehidupan sosial,
politik, dan pemerintahan di Indonesia. Gagasan tentang demokratisasi politik
dan desentralisasi pemerintahan, dengan cepat diaplikasikan melalui berbagai
undang-undang, antara lain undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan undang2 No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintahan pusat dan daerah.[1]
Selanjutnya,
tantangan terbesar dalam dunia pendidikan adalah pemberlakuan era
globalisasi, namun di sisi lain era tersebut akan memberikan peluang yang cukup
besar dalam mengembangkan peran pendidikan dalam nuansa universal. Pendidikan
pada era global mengharuskan suatu peran yang serba instan, baik dari segi
pembaruan manajemen, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
nilai-nilai kebudayaan yang progresif.
Penerapan demokrasi dalam sektor pendidikan merupakan
suatu kerangka yang dapat menyerap berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat dalam
berbagai kondisi heterogenitas, budaya, agama, serta geografis. Hal ini
diharapkan agar pendidikan lebih mengedepankan keberagaman metode pendidikan
yang mampu mengembangkan kemampuan masyarakat daerah secara professional serta
dapat mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan dalam pergaulan nasional, maupun
internasional.
Demokrasi
yang dikenal luas sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, ditandai dengan adanya pengakuan dan praktek persamaan hak dan
kewajiban dalam masyarakat luas. Pendidikan berjasa dalam membentuk pondasinya seperti rakyat yang
tahu hak dan kewajibannya, rakyat yang mengakui persamaan kedudukan di dalam
hukum dan pemerintahan, membuka kesempatan yang luas bagi semua lapisan
masyarakat dalam mencapai persamaan, dan membentuk rakyat yang kritis.
Konsekuensi
penerapan demokrasi dalam pendidikan berarti menjamin mengembangkan kebebasan
akademik. Artinya pola penyelenggaraan pendidikan harus dapat memberikan
kebebasan kepada seluruh elemen pendidikan dalam mengemukakan pendapat dan
menghargai perbedaan pendapat, sehingga masyarakat belajar akan terbiasa dengan
pengembangan daya nalar yang kritis dan progresif.
Penerapan demokrasi dalam dunia pendidikan dilandasi
oleh adanya kesadaran akan keberagaman kondisi masyarakat, dimana sistem
pengelolaan pemerintahan dalam menangani masalah pendidikan diarahkan pada
prinsip desentralisasi. Hal ini kian menyampingkan kebijakan sentralisasi yang
diterapkan pada era orde baru. Komitmen penerapan demokrasi pendidikan di
Indonesia dalam mengemban misi reformasi total, diterbitkan UU nomor 22 tahun
1999 tentang otonomi daerah. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah
memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendir atas dasar prakarsa dan partisipasi masyarakat.[2]
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
definisi dari Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi Pendidikan?
2. Bagaimana
implementasi Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi dalam dunia pendidikan?
3. Apa
permasalahan yang dihadapi dalam mengaplikasikan Demokratisasi, Otonomi, dan
Desentralisasi Pendidikan?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
1. Untuk
mengetahui definisi dari Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi Pendidikan
2. Untuk
mengetahui implementasi dari Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi
Pendidikan
3. Untuk
mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam mengaplikasikan Demokratisasi,
Otonomi, dan Desentralisasi Pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
DEMOKRATISASI, OTONOMI, DAN DESENTRALISAI PENDIDIKAN
1. Demokratisasi
Pendidikan
a. Demokratisasi
Demokratisasi adalah
suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi.
Demokratisasi ini menjadi tuntutan global yang tidak bisa dihentikan.[3]
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai, gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan
yang sama bagi semua warga negara.[4]
b. Pendidikan
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pendidikan
yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.[5]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Demokratisasi Pendidikan
adalah pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik
dan anak didik, serta juga dengan pengelola pendidikan.
2. Otonomi
Pendidikan
Otonomi atau autonomy
berasal dari bahasa yunani, Autos yang berarti sendiri, dan nomos
yang berarti hukum atau aturan(Abdurrahman, 1987:9). Syarif shaleh (1963)
mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah tersendiri, hak
mana diperoleh dari pusat. Wayong (1976:16), mengemukakan bahwa otonomi daerah
adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah,
dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri.
S.H. Sarundajang (2001:34) menulis bahwa pada hakikatnya otonomi daerah adalah
(1) hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom; (2) dalam
kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah
tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas
daerahnya; (3) daerh tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lain sesuai dengan wewwenang pangkal dan urusan yang telah
diserahkan kepadanya; dan (4) otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.
Menurut UU Nomor 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 ayat (5) dikemukakan bahwa
otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setemppat sesuai dengan perundang-undangan. Daeah otonom disini dimaksudkan
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentigan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia.[6]
Dalam konteks otonomi
pendidikan, secara alamiah pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya
bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah,
sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam
mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan.
Dalam pengertian
otonomi pendidikan terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya
pendidikan dilaksanakan secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat
diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, sesuai
dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat
accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada
publik, karena sekolah merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani
kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa
menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.[7]
3. Desentralisasi
pendidikan
Desentralisasi adalah
penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari
rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya
desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara
sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan.[8]
Otonomi daerah sebagai
salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk
memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih
mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita
masyarakat yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih
sejahtera.
Desentralisasi
diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatiur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004).[9]
Menyikapi
desentralisasi atau otonomi pemerintahan daerah dan tuntutan dan tantangan
globalisasi serta tuntutan-tuntutan lainnya maka, komisi VI Dewan Perwakilan
Rakyat Indonesia (DPR-RI), memandang bahwa Sistem pendidikan Nasional harus
segera diperbaharui atau direformasi , dengan membentuk undang-undang system
Pendidikan Nasional yang baru, untuk menggantikan Undang-undang No. 2 Tahun
1989, yang tidak sesuai lagi dengan semangat zaman baru dan tuntutan reformasi.[10]
Dari penjelasan diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian desentralisasi pendidikan adalah
suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima
pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan,
termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan
pembiayaan.[11]
B. IMPLEMENTASI
DEMOKRATISASI, OTONOMI, DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Sebenarnya
bangsa Indonesia telah menganut dan mengembangkan asas demokrasi dalam
pendidikan sejak diproklamasikannya kemerdekaan hingga masa sekarang ini.
Pelaksanan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia terutama dalam Undang-Undang dasar 1945 pasal 31 berbunyi :
1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. (Hasbullah,2005:205)
Pelaksanaan
demokrasi pendidikan tidak hanya terbatas pada pemberian kesempatan belajar
tetapi juga mencakupi fasilitas pendidikan sesuai jenis dan jenjang pendidikan
yang dibutuhkan masyarakat dengan tetap berorientasi pada peningkatan mutu, dan
keserasian antara pendidikan dengan lapangan kerja yang tersedia.
Semua lapisan
masyarakat melalui lembaga-lembaga sosial dan keagamaan akan mungkin
menyelenggarakan pendidikan dengan mengikuti petunjuk arah dan pedoman yang
telah dibuat dan disepakati sebagai standar dalam keseragaman pelaksanaan pendidikan.[12]
Berdasarkan
PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan
disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penetapan
standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional
dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya.
2. Penetapan
standar materi pelajaran pokok.
3. Penetapan
persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik.
4. Penetapan
pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
5. Penetapan
persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga bellajar dan
mahasiswa.
6. Penetapan
persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan,
penggandaan, system pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta
persyaratan penelitian arkeologi.
7. Pemanfaatan
hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri
nasional, pemanfaatan sumber arsip, dan monument yang diakui secara
internasional.
8. Penetapan
kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan
dasa, menengah, dan luar sekolah.
9. Pengaturan
dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta sekolah
internasional.
10. Pembinaan
dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Sementara
itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penetapan
kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas,
terbelakang, dan/atau tidak mampu.
2. Penyediaan
bantuan pengadaan buku pelajran pokok/modul pendidikan untuk taman kanak-kanak,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah.
3. Mendukung/membantu
penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan
pengangkatan tenaga akademis.
4. Pertimbangan
pembukaab dan penutupan perguruan tinggi.
5. Penyelenggaraan
sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataan guru.
6. Penyelenggaraan
museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan
nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.[13]
PERAN
MASYARAKAT
Dalam
konteks desentralisasi ini, peran masyarakat sangat diperlukan. Aparatur
pendidikan baik dipusat maupun di daerah, perberan penting dalam peningkatan
peran serta, efisiensi, dan produkvifitas masyarakat untuk membangun pendidikan
yang mandiri dan professional. Salah satu sasaran pembangunan adalah mewujudkan
desentralisasi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Titik berat
desentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota. Oleh Karena itu, peningkatan
kualitas aparatur pendidikan di daerah amatlah mendasar peranannya, terutama
pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang mendapat pelayanan. Efektifitas
pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk
mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
Sebagaimana dikemukakan dahulu, bahwa desentralisasi di bidang pendidikan
berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya yang berhenti pada
tingkat kabupaten/kota. Di bidang pendidikan justru sampai pada pelaksana
teknis atau ujung tombak pendidikan, yaitu sekolah-sekolah.[14]
Secara
empiris dan realitas dilapangan, harus diakui bahwa masih terdapat daerah
tertentu yang belum siap menrima kewenangan dari pemerintah pusat, khususnya
dalam bidang pendidikan ini. Diantaranya:
1. Sumber
daya manusia (SDM) belum memadai
Maksud SDM yang kurang
yaitu berhubungan dengan kuantitas dan juga kualitas. Terdapat daerah tertentu
yang kualitas SDMnya belum dapat dengan baik memahami, menganalisis, serta
mengaplikasikan konsep desentralisasi pendidikan ini. Demikian pula hanya yang
berkaitan dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada. Daerah tertentu melihat bahwa dari segi jumlah SDM mereka
masih sangat terbatas. Kalaupun ada yang telah menyelesaikan program
magisternya, jumlahnya tidak emncukupi atau tidak memadai.
2. Sarana
dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai
Hal ini sehubungan
dengan ketersediaan dan yang ada di setiap daerah. selama ini, mungkin
daerha-daerah tertentu asyik dan terlena dengan system dropping yang diterapkan
oleh pemerintah pusat. Mereka sangat terkejut (Future Shock) ketika tiba-tiba
memperoleh kewenangan untuk mengelola secara mandiri sebagian besar urusan
pendidikan di daerahnya. Untuk itu, mereka belum siap segala bentuk sarana dan
prasarana yang diperlukan. Jika dalam waktu singkat mereka dipersyaratkan untuk
melengkapi sarana dan prasarana tersebut, mereka akan mengalami kesulitan
besar. Kecuali, jika pemerintah pusat mesih bersedia membantu atau menyediakan
segala bentuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan
kebijakan desentralisasi pendidikan tersebut.
3. Anggaran
pendapatan Asli daerah (PAD) mereka sangat rendah
Beberapa daerah yang
selama ini kita kenal dengan daerah tertinggal, merasa berkeberatan untuk
langsung menerima beban kewenangan kebijakan desentralisasi pendidikan ini.
Pembiayaan pembangunan yang mereka lakukan selama ini banyak ditunjang oleh
pusat atau provinsi. Pendapatan asli daerah (PAD) mereka masih tergolong sangat
rendah. Oleh Karena itu, jika memungkinkan mereka masih berharap dapat diberi
kesempatan untuk menunda pengimplementasian kebijakan tersebut didaerah mereka.
Bila memungkinkan, mereka dapat bekerja sama dengan pemerintah lainnya yang
memiliki PAD yang lebih besar, yang membuat mereka bisa mendapatkan system
subsidi silang.
4. System
psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan.
Perubahan merupakan
sebuah keniscayaan. Namun, tidak semua orang memiliki pandangan dan sikap yang
sama terhadap sebuah perubahan. Sebagian diantara mereka melihat perubahan
sebagai sesuatu yang samar-samar, tidak jelas, tidak pasti, bahkan sesuatu yang
mengkhawatirkan. Hal ini tidak tertutup akan terjadi pada sebagian aparat atau
masyarakat di daerh tertentu. Ketkutan akan masa depan yang diakibatkan oleh
perubahan yang terjadi, membuat mereka tidak siap secara mental menghadapi
perubahan tersebut.
5. Mereka
juga gamang atau takut terhadap upaya pembaharuan.
Salah satu bentuk
perubahan yang sering dipakai yaitu upaya pembaharuan. Pembaharuan dalam pendidikan saat ini kita kenal dengan
sebutan pembaharuan kurikulum. Setiap kali terjadi pembaharuan kurikulum para
guru kembali disibukkan dengan berbagai kegiatan, seperti penataran, uji coba
model, uji mekanisme, sosialisasi kurikulum, dan sebagainya. Semuanya itu
ditangkap oleh sebagian personil guru sebagai sebuah malapetaka atau setidaknya
menjadi beban yang cukup berat bagi mereka.[15]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Demokratisasi, otonomi, dan desentralisasi
pendidikan adalah suatu bentuk pengaplikasian dari perundang-undangan tentang
hak memperoleh pendidikan dan penyerahan wewenang oleh pusat kepada daerah yang
mana dalam hal ini adalah pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, lembaga pendidikan diberikan
hak untuk mengembangkan sekolahnya sesuai kemampuan dan potensi kewilayahan
setempat. Namun, dalam pelaksanaannya banyak terjadi hambatan baik hal yang
bersifat fisik dari lembaga pendidikan itu sendiri maupun mental para pengelola
lembaga pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Anwar, 2003, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam UNDANG- UNDANG SISDIKNAS, DEPARTEMEN AGAMA RI
DIREKTORAT JENDRAL KELEMBAGAAN AGAMA ISLAM, Jakarta
Hasbullah, 2006, OTONOMI PENDIDIKAN: Kebijakan Otonomi
Daerah dan Imlpikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, PT. RajaGrafindo
Persada: Jakarta
Sam M. Chan, Tuti T.Sam, Analisis SWOT : KEBIJAKAN
PAENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH, PT
RajaGrafindo Persada: Jakarta
Software KBBI v1.1 Kamus Besar Bahasa Indonesia
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
http://eka-yanuarti.blogspot.com/
http://didietpratama.blogspot.com/
http://ayu3nawang.wordpress.com/
http://id.wikipedia.org/
http://atthamimy.blogspot.com/
[1] Anwar Arifin, Memahami
Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam UNDANG-UNDANG SISDIKNAS, DEPARTEMEN
AGAMA RI DIREKTORAT JENDRAL KELEMBAGAAN AGAMA ISLAM, Jakarta 2003, hal 25
[2]
http://eka-yanuarti.blogspot.com/2010/12/demokrasi-dan-desentralisasi-pendidikan.html
[3] http://didietpratama.blogspot.com/2011/02/pengertian-demokratisasi-dan.html
[4] Software KBBI
v1.1 Kamus Besar Bahasa Indonesia
[5] UU No. 20 Tahun
2003 Tentang Sisdiknas
[6] Hasbullah, OTONOMI PENDIDIKAN:
Kebijakan Otonomi Daerah dan Imlpikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006 hal
07
[7]
http://ayu3nawang.wordpress.com/2012/05/26/otonomi-pendidikan-3/
[8]
http://id.wikipedia.org/wiki/Desentralisasi
[9] Hasbullah, op
cit, hal 09
[10] Anwar Arifin, op
cit, hal 25
[11]
http://atthamimy.blogspot.com/2012/12/desentralisasi-pendidikan-di-indonesia.html
[12]
http://eka-yanuarti.blogspot.com/2010/12/demokrasi-dan-desentralisasi-pendidikan.html
[15] Sam M. Chan dan Tuti T.Sam, Analisis SWOT :
KEBIJAKAN PAENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
hal 04
No comments:
Post a Comment