kolom iklan

Friday 22 November 2013

DEMOKRATISASI, OTONOMI, DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN




BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Berhasilnya gerakan reformasi tahun 1998, dengan cepat mengubah tatanan kehidupan sosial, politik, dan pemerintahan di Indonesia. Gagasan tentang demokratisasi politik dan desentralisasi pemerintahan, dengan cepat diaplikasikan melalui berbagai undang-undang, antara lain undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan undang2 No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah.[1]
Selanjutnya, tantangan terbesar dalam dunia pendidikan adalah pemberlakuan era globalisasi, namun di sisi lain era tersebut akan memberikan peluang yang cukup besar dalam mengembangkan peran pendidikan dalam nuansa universal. Pendidikan pada era global mengharuskan suatu peran yang serba instan, baik dari segi pembaruan manajemen, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta nilai-nilai kebudayaan yang progresif.
Penerapan demokrasi dalam sektor pendidikan merupakan suatu kerangka yang dapat menyerap berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat dalam berbagai kondisi heterogenitas, budaya, agama, serta geografis. Hal ini diharapkan agar pendidikan lebih mengedepankan keberagaman metode pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan masyarakat daerah secara professional serta dapat mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan dalam pergaulan nasional, maupun internasional.
Demokrasi yang dikenal luas sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, ditandai dengan adanya pengakuan dan praktek persamaan hak dan kewajiban dalam masyarakat luas. Pendidikan berjasa dalam membentuk pondasinya seperti rakyat yang tahu hak dan kewajibannya, rakyat yang mengakui persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, membuka kesempatan yang luas bagi semua lapisan masyarakat dalam mencapai persamaan, dan membentuk rakyat yang kritis.
Konsekuensi penerapan demokrasi dalam pendidikan berarti menjamin mengembangkan kebebasan akademik. Artinya pola penyelenggaraan pendidikan harus dapat memberikan kebebasan kepada seluruh elemen pendidikan dalam mengemukakan pendapat dan menghargai perbedaan pendapat, sehingga masyarakat belajar akan terbiasa dengan pengembangan daya nalar yang kritis dan progresif.
Penerapan demokrasi dalam dunia pendidikan dilandasi oleh adanya kesadaran akan keberagaman kondisi masyarakat, dimana sistem pengelolaan pemerintahan dalam menangani masalah pendidikan diarahkan pada prinsip desentralisasi. Hal ini kian menyampingkan kebijakan sentralisasi yang diterapkan pada era orde baru. Komitmen penerapan demokrasi pendidikan di Indonesia dalam mengemban misi reformasi total, diterbitkan UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendir atas dasar prakarsa dan partisipasi masyarakat.[2]
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi dari Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi Pendidikan?
2.      Bagaimana implementasi Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi dalam dunia pendidikan?
3.      Apa permasalahan yang dihadapi dalam mengaplikasikan Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi Pendidikan?
C.     TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Untuk mengetahui definisi dari Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi Pendidikan
2.      Untuk mengetahui implementasi dari Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi Pendidikan
3.      Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam mengaplikasikan Demokratisasi, Otonomi, dan Desentralisasi Pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI DEMOKRATISASI, OTONOMI, DAN DESENTRALISAI PENDIDIKAN
1.      Demokratisasi Pendidikan
a.       Demokratisasi
Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi. Demokratisasi ini menjadi tuntutan global yang tidak bisa dihentikan.[3] Menurut kamus besar bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai, gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.[4]
b.      Pendidikan
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.[5]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Demokratisasi Pendidikan adalah pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengelola pendidikan.
2.      Otonomi Pendidikan
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa yunani, Autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum atau aturan(Abdurrahman, 1987:9). Syarif shaleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah tersendiri, hak mana diperoleh dari pusat. Wayong (1976:16), mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. S.H. Sarundajang (2001:34) menulis bahwa pada hakikatnya otonomi daerah adalah (1) hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom; (2) dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas daerahnya; (3) daerh tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewwenang pangkal dan urusan yang telah diserahkan kepadanya; dan (4) otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.
Menurut UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 ayat (5) dikemukakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setemppat sesuai dengan perundang-undangan. Daeah otonom disini dimaksudkan adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentigan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.[6]
Dalam konteks otonomi pendidikan, secara alamiah pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan.
Dalam pengertian otonomi pendidikan terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya pendidikan dilaksanakan secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
Otonomi  pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil  harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.[7]
3.      Desentralisasi pendidikan
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan.[8]
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatiur dan mengurus urusan  pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004).[9]
Menyikapi desentralisasi atau otonomi pemerintahan daerah dan tuntutan dan tantangan globalisasi serta tuntutan-tuntutan lainnya maka, komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI), memandang bahwa Sistem pendidikan Nasional harus segera diperbaharui atau direformasi , dengan membentuk undang-undang system Pendidikan Nasional yang baru, untuk menggantikan Undang-undang No. 2 Tahun 1989, yang tidak sesuai lagi dengan semangat zaman baru dan tuntutan reformasi.[10]
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan.[11]
B.     IMPLEMENTASI DEMOKRATISASI, OTONOMI, DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Sebenarnya bangsa Indonesia telah menganut dan mengembangkan asas demokrasi dalam pendidikan sejak diproklamasikannya kemerdekaan hingga masa sekarang ini. Pelaksanan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terutama dalam Undang-Undang dasar 1945 pasal 31 berbunyi :
1.      Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2.      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. (Hasbullah,2005:205)
Pelaksanaan demokrasi pendidikan tidak hanya terbatas pada pemberian kesempatan belajar tetapi juga mencakupi fasilitas pendidikan sesuai jenis dan jenjang pendidikan yang dibutuhkan masyarakat dengan tetap berorientasi pada peningkatan mutu, dan keserasian antara pendidikan dengan lapangan kerja yang tersedia.
Semua lapisan masyarakat melalui lembaga-lembaga sosial dan keagamaan akan mungkin menyelenggarakan pendidikan dengan mengikuti petunjuk arah dan pedoman yang telah dibuat dan disepakati sebagai standar dalam keseragaman pelaksanaan pendidikan.[12]
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya.
2.      Penetapan standar materi pelajaran pokok.
3.      Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik.
4.      Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
5.      Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga bellajar dan mahasiswa.
6.      Penetapan persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, system pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi.
7.      Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan sumber arsip, dan monument yang diakui secara internasional.
8.      Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasa, menengah, dan luar sekolah.
9.      Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta sekolah internasional.
10.  Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Sementara itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan/atau tidak mampu.
2.      Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajran pokok/modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah.
3.      Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis.
4.      Pertimbangan pembukaab dan penutupan perguruan tinggi.
5.      Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataan guru.
6.      Penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.[13]
PERAN MASYARAKAT
Dalam konteks desentralisasi ini, peran masyarakat sangat diperlukan. Aparatur pendidikan baik dipusat maupun di daerah, perberan penting dalam peningkatan peran serta, efisiensi, dan produkvifitas masyarakat untuk membangun pendidikan yang mandiri dan professional. Salah satu sasaran pembangunan adalah mewujudkan desentralisasi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Titik berat desentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota. Oleh Karena itu, peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah amatlah mendasar peranannya, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang mendapat pelayanan. Efektifitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Sebagaimana dikemukakan dahulu, bahwa desentralisasi di bidang pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya yang berhenti pada tingkat kabupaten/kota. Di bidang pendidikan justru sampai pada pelaksana teknis atau ujung tombak pendidikan, yaitu sekolah-sekolah.[14]

Secara empiris dan realitas dilapangan, harus diakui bahwa masih terdapat daerah tertentu yang belum siap menrima kewenangan dari pemerintah pusat, khususnya dalam bidang pendidikan ini. Diantaranya:
1.      Sumber daya manusia (SDM) belum memadai
Maksud SDM yang kurang yaitu berhubungan dengan kuantitas dan juga kualitas. Terdapat daerah tertentu yang kualitas SDMnya belum dapat dengan baik memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan konsep desentralisasi pendidikan ini. Demikian pula hanya yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada. Daerah tertentu  melihat bahwa dari segi jumlah SDM mereka masih sangat terbatas. Kalaupun ada yang telah menyelesaikan program magisternya, jumlahnya tidak emncukupi atau tidak memadai.
2.      Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai
Hal ini sehubungan dengan ketersediaan dan yang ada di setiap daerah. selama ini, mungkin daerha-daerah tertentu asyik dan terlena dengan system dropping yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Mereka sangat terkejut (Future Shock) ketika tiba-tiba memperoleh kewenangan untuk mengelola secara mandiri sebagian besar urusan pendidikan di daerahnya. Untuk itu, mereka belum siap segala bentuk sarana dan prasarana yang diperlukan. Jika dalam waktu singkat mereka dipersyaratkan untuk melengkapi sarana dan prasarana tersebut, mereka akan mengalami kesulitan besar. Kecuali, jika pemerintah pusat mesih bersedia membantu atau menyediakan segala bentuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi pendidikan tersebut.
3.      Anggaran pendapatan Asli daerah (PAD) mereka sangat rendah
Beberapa daerah yang selama ini kita kenal dengan daerah tertinggal, merasa berkeberatan untuk langsung menerima beban kewenangan kebijakan desentralisasi pendidikan ini. Pembiayaan pembangunan yang mereka lakukan selama ini banyak ditunjang oleh pusat atau provinsi. Pendapatan asli daerah (PAD) mereka masih tergolong sangat rendah. Oleh Karena itu, jika memungkinkan mereka masih berharap dapat diberi kesempatan untuk menunda pengimplementasian kebijakan tersebut didaerah mereka. Bila memungkinkan, mereka dapat bekerja sama dengan pemerintah lainnya yang memiliki PAD yang lebih besar, yang membuat mereka bisa mendapatkan system subsidi silang.
4.      System psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan.
Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, tidak semua orang memiliki pandangan dan sikap yang sama terhadap sebuah perubahan. Sebagian diantara mereka melihat perubahan sebagai sesuatu yang samar-samar, tidak jelas, tidak pasti, bahkan sesuatu yang mengkhawatirkan. Hal ini tidak tertutup akan terjadi pada sebagian aparat atau masyarakat di daerh tertentu. Ketkutan akan masa depan yang diakibatkan oleh perubahan yang terjadi, membuat mereka tidak siap secara mental menghadapi perubahan tersebut.
5.      Mereka juga gamang atau takut terhadap upaya pembaharuan.
Salah satu bentuk perubahan yang sering dipakai yaitu upaya pembaharuan. Pembaharuan  dalam pendidikan saat ini kita kenal dengan sebutan pembaharuan kurikulum. Setiap kali terjadi pembaharuan kurikulum para guru kembali disibukkan dengan berbagai kegiatan, seperti penataran, uji coba model, uji mekanisme, sosialisasi kurikulum, dan sebagainya. Semuanya itu ditangkap oleh sebagian personil guru sebagai sebuah malapetaka atau setidaknya menjadi beban yang cukup berat bagi mereka.[15]

















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Demokratisasi, otonomi, dan desentralisasi pendidikan adalah suatu bentuk pengaplikasian dari perundang-undangan tentang hak memperoleh pendidikan dan penyerahan wewenang oleh pusat kepada daerah yang mana dalam hal ini adalah pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, lembaga pendidikan diberikan hak untuk mengembangkan sekolahnya sesuai kemampuan dan potensi kewilayahan setempat. Namun, dalam pelaksanaannya banyak terjadi hambatan baik hal yang bersifat fisik dari lembaga pendidikan itu sendiri maupun mental para pengelola lembaga pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar, 2003, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam UNDANG-       UNDANG SISDIKNAS, DEPARTEMEN AGAMA RI DIREKTORAT JENDRAL KELEMBAGAAN AGAMA ISLAM, Jakarta
Hasbullah, 2006, OTONOMI PENDIDIKAN: Kebijakan Otonomi Daerah dan Imlpikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta
Sam M. Chan, Tuti T.Sam, Analisis SWOT : KEBIJAKAN PAENDIDIKAN ERA OTONOMI  DAERAH, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta
Software KBBI v1.1 Kamus Besar Bahasa Indonesia
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
http://eka-yanuarti.blogspot.com/
http://didietpratama.blogspot.com/
http://ayu3nawang.wordpress.com/
http://id.wikipedia.org/
http://atthamimy.blogspot.com/ 



[1] Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam UNDANG-UNDANG SISDIKNAS, DEPARTEMEN AGAMA RI DIREKTORAT JENDRAL KELEMBAGAAN AGAMA ISLAM, Jakarta 2003, hal 25
[2] http://eka-yanuarti.blogspot.com/2010/12/demokrasi-dan-desentralisasi-pendidikan.html
[3] http://didietpratama.blogspot.com/2011/02/pengertian-demokratisasi-dan.html
[4] Software KBBI v1.1 Kamus Besar Bahasa Indonesia
[5] UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
[6] Hasbullah, OTONOMI PENDIDIKAN: Kebijakan Otonomi Daerah dan Imlpikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, PT. RajaGrafindo Persada,  Jakarta, 2006 hal 07
[7] http://ayu3nawang.wordpress.com/2012/05/26/otonomi-pendidikan-3/
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Desentralisasi
[9] Hasbullah, op cit, hal 09
[10] Anwar Arifin, op cit, hal 25
[11] http://atthamimy.blogspot.com/2012/12/desentralisasi-pendidikan-di-indonesia.html
[12] http://eka-yanuarti.blogspot.com/2010/12/demokrasi-dan-desentralisasi-pendidikan.html
[13] Hasbullah, op cit, hal 12-14
[14] Ibid, hal 15-16
[15] Sam M. Chan dan Tuti T.Sam, Analisis SWOT : KEBIJAKAN PAENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005 hal 04

No comments:

Post a Comment