kolom iklan

Friday, 3 February 2012

Imam Nawawi Al-Bantani

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. Lahir di Tanara, Banten (Jawa Barat) Indonesia. Ayahandanya seorang ulama yang sangat alim, tokoh masyarakat, dan pernah menjadi penghulu di Kecamatan Tanara.
Setelah belajar ilmu agama kepada ayahandanya, Nawawi bersama dua saudaranya (Tamim dan Ahmad) meneruskan thalabul ilmi-nya kepada Kiai Sahal, seorang ulama yang masyhur di Banten pada saat itu. Tiga serangkai ini, kemudian melanjutkan belajar ke Purwakarta, Karawang, di tempat KH Raden Yusuf (salah seorang pengasuh pesantren besar yang menarik perhatian santri dari seluruh Jawa, khususnya Jawa Tengah).
Pada usianya yang masih muda, tiga serangkai ini melakukan ibadah haji, dan kemudian Muhammad Nawawi bermukim di Makah selama 3 tahun. Setelah pulang, pemuda Nawawi ini berencana kembali untuk bermukim di Makah lagi. Pada akhirnya rencana Nawawi dapat terlaksana sehingga ia bermukim di sana selama 30 tahun.
Saat di Makah Al-Mukarramah, beliau belajar pertama kalinya dengan Syaikh Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani, juga ulama besar dari Mesir yaitu Syaikh Yusuf Samlawani, dan Syaikh Nahrawi, serta Syaikh Abdul Hamid Dagastani. Kepada yang disebut terakhir ini, Muhammad Nawawi belajar bersama-sama para ulama lain sampai sang guru wafat.
Selaku ulama yang tinggal di Makah Al-Mukarramah, Imam Nawawi yang juga hafal Al-Qur’an ini menghabiskan seluruh waktunya untuk mengajar. Proses belajar mengajar dilakukan di pesantrennya sendiri (rumahnya, pen). Sedang para santri sebagian besar terdiri dari para muqimin dari Indonesia, antara lain Abdullah, adik kandung yang sepanjang hidupnya dididik oleh beliau sendiri.
Selaku mutashawwif (pelaku tasawuf), Imam Nawawi hidup sederhana. Busana yang dikenakan sangat sederhana, serban yang dipakainya waktu mengajar para santri dalam ruangan yang luas sekali pada lantai pertama rumahnya. Demikian pula busana di waktu keluar rumah, menurut ukuran masyarakat Makah waktu itu sama sekali tidak mencerminkan kemewahan dalam pada posisinya yang terhormat selaku ulama besar.
Seorang Orientalis berkebangsaan Belanda yang juga Islamolog bernama Prof. Dr. Snouck Hurgronje, dalam kunjungannya ke Makah dengan pura-pura mengaku Muslim selama 6 bulan (tahun 1884/1885), sempat juga bertemu dan menyaksikan kehidupan Imam Nawawi secara langsung. Untuk mengabadikan pengetahuannya tentang Makah ini, ia menulis buku “Mecca In The Part Of The 19th Century”, diterbitkan oleh E.J. Brill, Leiden, tahun 1931. Pada halaman 268-273, ia membuat catatan tentang Imam Nawawi. Menurut kutipan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh Dr. Karel A. Steenbrink dalam bukunya “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19″, Snouck menyatakan dalam catatan diatas antara lain: “Badannya (Imam Nawawi, pen), yang bengkok memperlihatkan orang yang masih lebih kecil dari kenyataannya; dia berjalan seolah-olah seluruh dunia adalah suatu kitab besar, yang dia asyik membacanya…”.
Dalam suatu kesempatan, Snouck Hurgronje mewawancarai Imam Nawawi: “Mengapa tuan tidak mengajar di Masjidil Haram?” Beliau menjawab, Pakaian kami jelek. Dan diri kami belum sesuai dengan kemulian seorang ulama bangsa Arab”. Kemudian Snouck bertanya lagi, “Toh banyak guru yang ilmunya belum sedalam tuan tapi juga turut mengajar di Masjidil haram?!. Beliau menjawab, “Kalau memang mereka diijinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa untuk itu!”.
Dari jawaban Imam Nawawi seperti ini, Snouck belum mau menyimpulkan bahwa beliau itu seorang yang tawadlu’. Bahkan juga dari pertanyaan Imam Nawawi sendiri sebagai berikut: “Saya adalah debu yang melekat pada orang-orang yang mencari ilmu…”. Tapi dari praktek hidupnya, kata Snouck, baru betul dibuktikan pasti bahwa dia (Imam Nawawi, pen), adalah orang yang rendah hati.
Dalam bidang tasawuf, ulama besar ini mempraktekkan tasawuf Imam Ghazali, dimana menitik beratkan segi akhlaq (etika) dalam bentuk yang realistis. Sedang dalam bidang fiqh seperti Al-Ghazali juga, beliau menganut madzhab syafi’i.
Kalau ada orang yang memohon nasehatnya di bidang fiqh, Imam Nawawi tidak pernah menolaknya. Akan tetapi dalam pergaulan dan bicara sehari-hari, beliau biasa-biasa saja dan tidak suka mendominasi percakapan. Beliau juga tidak berkenan memberikan munadharah (diskusi ilmiah) sebelum orang lain mengajaknya. Di bawah wibawa dan bimbingannya, semakin lama semakin banyak orang Sunda, Jawa, dan Melayu mempelajari agama Islam secara mendalam.
Di tanah Arab, beliau digelari dengan Saiyyidu Ulamai Al-Hijaz (pemuka Alim Ulama negeri Hijaz), sedang di Indonesia dikenal dengan Imam Nawawi Banten atau Kiai Nawawi Banten. Ulama terhormat ini wafat di Makah tahun 1315 H./1890 M.
Imam Nawawi termasuk deretan para ulama besar dalam Islam, dan secara khusus dikenal dengan ulama ahli tafsir, tauhid, bahkan juga tashawwuf. Pada zaman sekarang banyak kitab karya beliau yang diterbitkan oleh penerbit. Semuanya tersusun dengan bahasa Arab. Dan pada umumnya kitab beliu menjadi bahan pengajian yang tidak ditinggalkan di setiap pesantren. Diantara kitab tersebut antara lain: 1). Tafsir: Marah Labied Li Kasyfi Ma’na Qur’an Majied. 2). Tauhid: Qathr Al-Ghaits Fi Syarh Masaili Abi Laits, Bahjat Al-Wasail li Syarhi Masail, Fath Al-Majid, Qami’ Ath-Tughyan. 3). Fiqih: Ats-Tsimar Al-Yani’ah, Sulam Al-Munajat, Kasyifat Asy-Syajah, Uqud Al-Lujain, Mirqat Shu’udi Al-Tasdhiq. 4). Tasawwuf: Salalim Al-Fudhala’, Maraqi Al-’Ubudiyyah, Nashaih Al-’Ibad. Semoga amal jariyah beliau selalu mengalir pada setiap zaman dan sampai akhir hari qiyamah. Al-Fatihah. Wallahu A’lam.
Disadur dari berbagai sumber oleh: M. Sa’dullah (Staf pengajar pesantren Ath-Thohiriyyah Purwokerto, Banyumas.)

No comments:

Post a Comment